Pancaindera merupakan sebuah nikmat Tuhan yang tak terkira. Melalui pancainderalah kita belajar menyikapi fenomena yang terjadi dalam lingkungan. Begitu pula dengan Sucipto hadi Purnomo. Dia gunakan pancainderanya untuk mengamati carut marut dunia pendidikan Indonesia. Lantas dia ikat hasil pengamatannya tersebut dalam buku ini.
Buku ini sengaja disajikan bagi dunia pendidikan Indonesia yang tak jua bangkit dari keterpurukan. Begitu peliknya permasalahan sehingga sulit mengurai satu persatu akar masalah yang
ruwet bagaikan benang layang-layang. Melalui buku ini pulalah Sucipto mencoba mengurai akar masalah tersebut. Sadar atau tidak pendidikan Indonesia telah mengalami pergeseran dari cita-cita sebenarnya.Sekolah sebagai tempat formal untuk memanusiakan manusia kini telah bermutasi menjadi ladang bagi kapitalis-kapitalis pendidikan.Guru tak lebih layaknya buruh dan siswa merupakan komoditas yang menguntungkan para kapitalis tersebut.
Mentalitas kapitalisme yang licik telah merasuk ke dalam pejabat pendidikan hingga kepala sekolah. Kenyataan ini tak bisa kita pungkiri. Beberapa daerah di pelbagai pelosok negeri busung korupsi ini dikabarkan membutuhkan banyak tenaga kependidikan. Ironis jika hal tersebut ada sedangkan banyak sarjana pendidikan yang menganggur. Pemerintah tak bisa tinggal diam begitu saja membaca kenyataan ini lantas mereka merekrut guru bantu. Dengan perekrutan guru bantu, kebutuhan pemerintah terpenuhi. Angka pengangguran para sarjana pendidikan setidaknya dapat diminimalisir. Kenyataan berbicara lain, honor perbulan guru tersebut di bawah rerata UMR buruh pabrik. Guru bantu tak sekadar membantu pemerintah memenuhi tetapi lebih tepatnya menjadi guru (pem-)bantu. Beban tugas banyak bahkan melebihi guru PNS, tetapi honor berbanding terbalik dengan profesionalitas mereka. Sungguh tak pantas jika pemerintah mengklaim telah mengangkat kesejahteraan guru (hlm. 22). Pengangkatan guru bantu bukan untuk menyejahterakan guru,melainkan demi kepentingan pemerintah dalam pengadaan guru karena tak kuat (tak mau?) mengangkat guru negeri (hlm.16).
Kurikulum sebagai acuan operasional
diobok-obok tak karuan. Ganti menteri ganti kurikulum, bukan hal baru bagi rakyat. Rakyat bisa memaklumi hal tersebut, tokh para menteri juga ingin menunjukkan prestasinya, bukan? Tuntutan standar kelulusan nasional merupakan wujud pengkhianatan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang pemerintah gulirkan. Pendidikan yang seyogyanya menjadi tempat siswa mengembangkan kompetensinya hanya tersentuh sebatas ranah kognitif. Pencapaian target nilai angka menjadi acuan keberhasilan proyek mercusuar pemerintah ini. “Gengsi gede-gedean” menjadi sebuah pertaruhan sekolah dengan orangtua. Wajar jika akhirnya sekolah mengajarkan dusta kepada anak didiknya. Sekolah agaknya lebih banyak menuntut daripada mendengarkan. Para guru sering lebih bangga ketika anak didiknya mampu mempersembahkan nilai 100 ketimbang mereka yang tak bisa menuntaskan PR ( hlm. 30).
Untuk mencapai kompetisi bergengsi tersebut, LKS (Lembar Kerja Siswa) menjadi alternatif pilihan.
Bejibun PR yang membebani siswa terjadi karena fungsi LKS tersebut. Sekian beban tersebut menjadikan LKS sebagai
Lembar Kesengsaraan Siswa. LKS telah memberangus keceriaan anak-anak. Bahkan tak sedikit terjadi
kongkalikong pemerintah,penerbit, bahkan guru dalam pengadaan LKS ini. LKS menjadi sebuah proyek semesteran atau tahunan sebagai komoditi menambah finansial guru. Kalaulah Kurikulum tingkat satuan pendidikan tak mampu menyingkirkan LKS,kalaulah para kepala dinas pendidikan tak mampu menyurutkan jual-beli lembaran ini di sekolah, entah dengan apalagi kita bisa menyurutkan subyek didik dari lembaran-lembaran menyengsarakan itu ( hlm.58). Harus bagaimana lagi, membuat LKS adalah usaha sampingan guru untuk menambah kebutuhan keluarga dan membayar hutang di bank.
Margaret Mead berkata,”Nenek melarangku sekolah,jika ingin menambah pengetahuan”. Artinya selama ini sekolah tidak dapat menjadi lahan pengetahuan. Sekolah tak lebih hanyalah tempat formal mendapat ijazah sebagai syarat masuk jenjang selanjutnya. Barangkali setelah membaca kumpulan essay yang cukup provokatif ini, timbul sikap apatis seperti neneknya Margaret. Oleh karena itu membaca buku ini harus benar-benar dengan hati yang bersih untuk melihat segalanya dari berbagi sisi. Kumpulan essay yang terkumpul dalam buku ini diharapkan dapat membuka hati dan pandangan pemerintah dan masyarakat terhadap dunia pendidikan Indonesia yang kian tak menentu ini. Satu hal yang pasti, sekolah tak pernah salah dan kalah. Sekolah tak lebih tak kurang adalah sebagai candu! Selalu Diburu ( hlm.6)
Judul : Belajar Dusta di Sekolah Kita | Penulis : Sucipto Hadi Purnomo |Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri, Yogyakarta |Tahun : April, 2008
ANDA PUNYA BUKU UNTUK DIRESENSI? SMS 087731449424